Jakarta – Wakil ketua DPD RI Sultan B Najamudin mengaku lembaganya masih konsisten untuk memperjuangkan kepentingan politik kewenangan lembaga DPD RI melalui amandemen konstitusi.
Hal disampaikan Sultan untuk merespon sikap MPR RI yang ingin menunda untuk membahas dan menyisipkan pasal PPHN dalam UUD.
“Pada prinsipnya DPD RI sejak awal sudah mendorong wacana amandemen konstitusi sebagai urgensi politik kebangsaan yang patut untuk diperhatikan bersama oleh semua kekuatan politik nasional. Baik kekuatan politik formal seperti pemerintah, MPR, DPR maupun kekuatan politik non formal seperti Ormas dan kelompok intelektual kampus dan lain-lain”, ungkap Sultan melalui keterangan resminya pada Sabtu (19/03).
Hal ini menurut Sultan, sangat beralasan karena pasca reformasi, sistem demokrasi kita justru bergerak liar melampaui batas-batas nilai demokrasi itu sendiri. Terutama terkait jati diri demokrasi Indonesia, yakni demokrasi Pancasila. Kita telah merevisi gagasan-gagasan demokrasi Pancasila orde baru lebih dari yang kita butuhkan. Termasuk terkait GBHN atau yang saat ini diperkenalkan kembali oleh teman-teman di MPR dengan Istilah PPHN.
“Termasuk di dalamnya terkait mekanisme pemilu, dari sistem perwakilan menjadi Pemilu langsung yang saat ini kita praktekkan. Kami ingin mempertegas bahwa tidak proporsional jika amandemen hanya diperuntukkan pada penambahan pasal tentang PPHN”, tegasnya.
Sebagai bangsa kita harus jujur bahwa fenomena politik dan demokrasi Indonesia yang semakin tidak terkendali saat ini harus segera kita perbaiki bersama. Fakta-fakta politik yang cenderung sangat ekstraktif dan terhegemoni oleh pengaruh kekuasaan eksekutif sudah saatnya kita kendalikan dengan sistem pembagian kekuasaan yang lebih proporsional.
“Saya tidak mengatakan bahwa sistem presidensial kita sangat berlebihan tanpa ada porsi check and balance yang ideal, atau ingin menunjukan posisi kelembagaan DPD RI yang dianak-tirikan oleh konstitusi dengan kewenangannya yang sangat terbatas, tapi saya ingin menunjukkan adanya gejala gagalnya demokrasi menjawab harapan kesejahteraan bagi rakyat”, ujar mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu.
Fenomena gini ratio yang semakin melebar dan inflasi harga pangan yang meluas. Sementara kita justru bersedia untuk membiayai proses pemilu langsung serentak yang sedemikian mahal biayanya. Anggaran puluhan triliun rupiah yang diajukan KPU tentu akan lebih baik jika alihkan untuk membangun IKN misalnya, atau memperkuat sistem subsidi pangan bagi masyarakat.
Di sisi lain, lanjut Sultan, kerentanan sosial akibat Pemilu sangat penting untuk kita kaji bersama. Kita tidak boleh permisif dengan mekanisme politik yang berpotensi menimbulkan segregasi sosial politik di era digital saat ini. Karena cepat atau lambat polarisasi sosial politik itu akan berubah menjadi ancaman nasional yang serius dalam jangka panjang. Ini menjadi diskursus politik yang bagi Saya secara pribadi sangat penting untuk kita kaji bersama.
Sehingga, jelas Sultan, Amandemen konstitusi harus menjadi titik balik pemulihan demokrasi Indonesia akibat praktek pemilihan umum langsung yang cenderung hanya berorientasi pada demokrasi prosedural serta sangat tidak efisiensi dan tentunya jauh dari efektifitas praktek demokrasi yang substansial. Jika dibutuhkan kami mendorong agar amandemen harus diawali dengan kontrak politik bersama. Tentang pasal atau ketentuan mana saja yang akan diamandemen.
“Sekali lagi perlu kami tegaskan bahwa Sikap dan orientasi amandemen DPD RI jelas hanya akan fokus pada agenda memperkuat kewenangan lembaga secara proporsional dan hal-hal fundamental bangsa lainnya seperti yang telah kami sampaikan sejak lama”, tutupnya. (rls)