Penulis : Yulianda Arifin
Merangkul Keberagaman dan Keadilan
Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mengatur agar siswa dapat dilayani di sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua siswa tanpa terkecuali difabel.
Sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua siswa yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan siswa pada umumnya, hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) Bagi Siswa Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Untuk itu perlu ada kesetaraan yang fleksibel karena,
Anak itu berbeda
Semua anak dapat belajar
Kemampuan, kelompok etnis, ukuran, usia, latar belakang, gender yang berbeda
Mengubah sistem agar sesuai dengan anak
Pandangan al-Quran tentang difabel (kebutuhan khusus), Pandangan tentang konsep realitas keberagaman (pluralitas) Pluralitas merupakan konsep yang sangat mendasar dari eksistensi manusia (Al-Hujurat, 13). Kesamaan dan keragaman manusia yang menyatukan seluruh inidividu, fakta dari eksistensi manusia, agar saling mengerti dan menghargai, berdasarkan kecerdasan spiritualnya, bukan fisik atau mentalnya. Manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya. Selain itu dalam hadist lain dikatakan: Bercerita kepada kami Umar al-Naqid bercerita kepada kami Katsir bin Hisyam bercerita kepada kami Ja’far bin Barqan dari Yazid bin al-Asham hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian”. (HR. Muslim).
Semua manusia memiliki martabat yang sama yang membedakan hanyalah bentuk ketaqwaan dan keimanan, Allah melarang manusia mengolok-ngolok sesamanya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 11 dan Hadist Nabi di riwayatkan oleh Abu Hurairoh Kualitas seseorang diukur sesuai dengan kemampuannya. Dalam pendidikan tidak boleh membeda-bedakan peserta didik yang umum dengan yang berkebutuhan khusus, karena pendidikan yang layak merupakan hak untuk semua anak. Tidak membedakan peserta didik yang umum dengan yang memiliki kebutuhan khusus (surat ‘abasa ayat 1-4 merupakan teguran secara halus kepada Rasulullah karena mengabaikan seseorang yang buta). Manusia memiliki potensi dalam dirinya untuk dapat dikembangkan dengan maksimal. Pendidikan dapat mengembangkan potensi diri manusia, tanpa melihat fisik, baik umum dan berkebutuhan khusus sama-sama berhak memberi dan menerima pendidikan.
Tidak membedakan latar belakang kehidupan sosial peserta didik. Surat ‘abasa ayat 1-16: membeda-bedakan latar belakang kehidupan sosial peserta didik Konsep pendidikan untuk semua: tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan atau kelainan yang dimiliki, memiliki persamaan, keadilan, dan hak individu untuk menempuh pendidikan. Maka relevansi pendidikan inklusif dan pendidikan yaitu:
Pendidikan sebagai kewajiban/hak. Dalam perspektif Islam pendidikan merupakan kewajiban prasyarat, baik untuk memahami kewajiban Islam yang lain maupun untuk membangun kebudayaan/peradaban, sementara dalam perspektif inkulisif pendidikan merupakan hak asasi manusia.
Prinsip pendidikan untuk semua (Education For All). Pendidikan Islam secara historis di masa peradaban klasik telah memfasilitasi lingkungan yang kondusif bagi “pendidikan untuk semua” melalui pembentukan tradisi melek huruf.
Prinsip non-segregasi. Pendidikan sebagai kewajiban/hak asasi manusia, maka setiap manusia tidak boleh termarjinalisasikan dan tersisih dalam memperoleh layanan pendidikan.
Perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Baik pendidikan Islam maupun pendidikan inklusi berupaya menumbuh- kembangkan kepribadian manusia dengan mengakui segenap daya dan potensi yang dimiliki peserta didik.
Segenap daya dan potensi peserta didik wajib atau berhak ditumbuh-kembangkan, maka faktor eksternal (lingkungan sekolah) harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan- hambatan peserta didik. Hambatan belajar tidak lagi terletak pada diri peserta didik.
Sumber/Referensi : https://www.unida.ac.id/artikel/pendidikan-inklusif-dalam-perspektif-islam
Kesimpulan : Implementasi pendidikan inklusif masih banyak mengalami berbagai kendala, oleh karenanya dalam hal ini perlu upaya simultan untuk menjadikannya sebagai sebuah alternasi dalam membangun pendidikan Islam yang lebih bermartabat serta menjunjung tinggi asas humanism dan kesamaan hak. Kepedulian stakeholder adalah sebuah keniscayaan agar masyarakat luas tahu bahwa mereka yang mengalami difabilitas membutuhkan pertolongan, pendampingan, dan tentu saja hak-hak untuk dididik dan bina layaknya peserta didik yang normal dari segi fisik maupun mental. Pendidikan Inklusi dari sudut pandang format dan model penyelenggaraan pendidikan bukanlah suatu hal yang mustahil jika diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan Islam formal seperti di sekolahsekolah umum maupun madrasah, bahkan tidak tertutup kemungkinan diterapkan di pesantren-pesantren yang menyelenggarakan pengajian-pengajian kitab kuning. Hanya saja bukan suatu hal yang mudah untuk mengawali karena pada prakteknya tentu saja banyak hal yang perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan, sehingga ketika model pendidikan Inklusi ini bBetul-betul diterapkan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. (**)